![]() |
Bimbingan orang tua sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan mental anak |
Semuanya
merupakan aktivitas yang cenderung ditabukan dalam kultur masyarakat
kita, terutama bagi anak-anak. Dan tidak dapat dipungkiri, kasus yang
melibatkan artis-artis terkenal ini menjadi perhatian public maupun
pemerintah yang cukup besar karena mereka adalah figur public, sehingga
membuat lebih banyak kalangan yang cenderung ingin tahu, apa yang sedang
diberitakan media massa.
Harus kita akui, di jaman
yang serba modern ini, penyebaran informasi apapun, baik yang positif
maupun negative, relative sulit dihindari, termasuk juga
informasi-informasi yang seharusnya diperuntukkan untuk orang dewasa
yang sudah siap lahir dan batin menerima informasi tersebut. Apalagi,
perkembangan internet dan perangkatnya yang semakin murah dan semakin
kita butuhkan untuk aktivitas sehari-hari sehingga memungkinkan akses
yang semakin mudah.
Tentu tidak akan efektif bila kita
sebagai orang tua, hanya sekedar melarang anak kita dan memarahinya bila
kita mendapatinya sedang mengkonsumsi informasi yang tergolong dewasa,
baik melalui internet, handphone, televisi ataupun alat teknologi lain,
karena hal itu akan memunculkan rasa penasaran yang besar pada anak, dan
ujung-ujungnya, akan mudah tergoda untuk mencari tahu dalam bentuk
praktek nyata, seperti yang kebanyakan diberitakan selama ini di
berbagai media massa.
Oleh sebab itu, kunci utama untuk
melindungi buah hati kita dari dampak negative kemajuan teknologi,
dengan tetap kita mampu memaksimalkan segi positif dari teknologi
tersebut, adalah KOMUNIKASI. Seperti layaknya setiap hubungan apapun
itu, termasuk hubungan antar suami-istri, KOMUNIKASI merupakan sarana
yang paling efektif untuk saling memberikan masukan, saling memahami,
saling memberikan pengertian, dan saling belajar satu sama lain dalam
mencapai win-win solution di setiap masalah apapun.
Marah,
memaksa, melarang, menghukum, maupun tindakan emosional lainnya,
cenderung meningkatkan perasaan tertekan dan keinginan memberontak pada
anak, yang ujung-ujungnya, akan menyulitkan orang tua dalam penanaman
nilai secara tepat.
Komunikasi antar orang tua-anak
yang terjalin dengan baik (artinya, anak merasa nyaman setiap kali
berkomunikasi dengan orang tuanya, bukan malah tertekan atau takut),
akan jauh lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai dibandingkan factor
luar. Hanya pada saat anak tidak merasa nyaman ketika ia di rumah,
itulah saatnya factor luar (teman, media massa, dll) memberikan pengaruh
yang signifikan.
Lantas, bagaimana caranya ber-KOMUNIKASI yang efektif agar anak mudah memahami pengertian yang dimaksud orang tua?
Di
sini, dibutuhkan KESESUAIAN antara inti informasi yang dikomunikasikan
orang tua dengan perkembangan mental anak, yang umumnya mengikuti
perkembangan usianya.
Tidak dapat dipungkiri,
perkembangan intelektual dapat semakin cepat dan semakin dini berkat
pengaruh gizi, lingkungan, maupun pola asuh. Namun sebaliknya,
perkembangan mental perlu proses sinergi terus menerus antara orang
tua-anak-lingkungan hingga anak mulai mampu mengambil tanggung jawab
secara mandiri di masa dewasa.
Oleh sebab itu, kami
sajikan beberapa tips berikut ini yang dapat dicoba orang tua dalam
menanamkan nilai-nilai normative (khususnya terkait perilaku seks
bebas):
1. Memanfaatkan Perumpamaan/ Metafora CINTA dan RESMI
Hal ini terutama saat anak berusia di bawah sekurang-kurangnya 7 tahun (sekitar SD kelas 2), bertanya dari mana ia dilahirkan.
Lebih
baik orang tua menghindari jawaban yang sulit diterima akal sehat
karena kelak di masa depan, anak akan sulit percaya kepada orang tua
bila ternyata kenyataannya tidak seperti yang disampaikan orang tua.
Lebih
baik orang tua memberikan jawaban dari Cinta, seperti cerita cinta
dongeng Cinderella dan dari Cinta itulah, anak dilahirkan. Maka, konsep
terlahir dari “Cinta”, menjadi norma yang terekam di informasi anak.
Di
atas usia 7 th – awal masa akil balik, orang tua bisa menambahkan
konsep “Cinta” tersebut dengan konsep “Resmi”, di mata agama dan hukum,
seperti anak yang terlahir dari Cinta yang telah dipersatukan secara
resmi oleh agama dan hukum dalam bentuk pernikahan yang sah.
Maka
ketika anak sudah memasuki masa akil balik (remaja ke atas), nilai-nilai
“Cinta” dan “Resmi” sudah terekam di kepribadian anak, sehingga
selanjutnya, tugas orang tua relative lebih ringan dengan membimbing
anak untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi organ tubuh yang sudah
mulai matang. Baru pada saat itulah, anak baru dapat belajar mengenai
awal mula “Proses Biologis” terbentuknya kelahiran anak dengan
nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” yang tertanam.
2. Menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dari foto-foto perkawinan orang tua
3.
Menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dari dokumen kelahiran anak,
hasil dari Cinta kasih yang diwujudkan dalam bentuk pernikahan Resmi.
4.
Menekankankan dan selalu mengulang kata “Ayah dan Ibu PERCAYA sama Adik
(atau nama panggilan anak), dan bahwa Adik akan selalu menggunakan
kepercayaan Ayah dan Ibu dengan baik”
5. Menjelaskan
bahwa perilaku seks bebas seperti yang ditunjukkan oleh artis maupun
orang lain seperti yang diberitakan di berbagai media massa maupun
internet, itu bukanlah “Cinta” karena tidak dipertanggungjawabkan secara
“Resmi” di hadapan agama dan hukum. Maka dari itu, perilaku semacam
itu, tidak akan menghasilkan kebahagiaan bagi diri sendiri.
Hal
ini-pun berlaku ketika anak sudah menginjak remaja dan mulai menjalin
hubungan pacaran, sehingga dengan nilai/ kata kunci “Cinta”, “Resmi”,
maupun “Orang tua Percaya” yang telah tertanam dalam prinsip hidup anak,
kondisi mental anak akan relative sudah siap untuk menjaga diri sendiri
dari godaan untuk melakukan hubungan seksual sebelum waktunya, walaupun
dengan pacar sendiri.
6. Yang terakhir dan tak kalah
pentingnya, adalah PANUTAN dari orang tua. Tanpa “PANUTAN” yang sesuai
dengan kenyataan yang dilihat anak, maka langkah 1 s/d 5 akan menjadi
kurang efektif, atau lebih tepatnya, sia-sia.
Seperti
sebuah pepatah mengatakan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi
bukit.” Demikian juga dengan perkembangan mental pada generasi muda masa
datang, khususnya anak-anak kita.
Kita tidak dapat
memperbaiki masa lalu, kita tidak dapat menutup diri dari perkembangan
jaman, kita juga tidak dapat menghindari kemajuan teknologi yang sangat
cepat, tapi kita dapat belajar dari kesalahan dan memperbaikinya demi
masa depan yang lebih baik. Dan, itu semua tergantung dari diri kita
masing-masing saat ini.
Semoga Bermanfaat..
Penulis :
Siti Marini Wulandari, M.Psi., Psikolog, dan
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi., Psikolog
Source: http://www.infoanak.com/
0 comments:
Post a Comment